Ada orang yang membayar kartu kredit untuk melunasi hutang. Ada yang membayarnya agar tidak ditagih. Tapi ada juga orang yang membayar kartu kredit untuk alasan yang jauh lebih sunyi: agar mereka merasa masih punya kendali atas hidup. Mungkin mereka sudah kehilangan rencana. Mungkin mereka sudah tidak tahu ke mana langkah berikutnya. Tapi selama mereka masih bisa membayar, mereka merasa belum sepenuhnya runtuh. Pembayaran itu bukan transaksi—itu pengakuan tersembunyi: “Aku belum hilang… meski aku tidak tahu sedang ke mana.”
Ironisnya, banyak orang yang sudah berhenti memperjuangkan
masa depan, tetapi belum berhenti membayar masa lalu.
Saat Hidup Berjalan Tanpa Tujuan, Tapi Tagihan Tetap
Datang
Ada titik dalam hidup ketika seseorang tidak lagi mengejar
impian. Bukan karena mereka tidak punya mimpi, tetapi karena mereka terlalu
lelah untuk mempercayainya. Hari-hari mereka terasa seperti salinan: bangun,
menjalani, lalu diam. Tidak lagi bertanya ke mana arah hidup, hanya bertanya
kapan tagihan jatuh tempo.
Pembayaran kartu kredit menjadi satu-satunya kalender yang
mereka hormati. Tanggal jatuh tempo menjadi ritual kecil untuk membuktikan:
“Aku masih berguna… minimal untuk membayar.”
Tanda-tanda itu terlihat jelas, jika mau jujur:
- Tidak
lagi peduli belanja apa, tapi peduli cicilan berapa
- Tidak
peduli masa depan, tapi takut menunda pembayaran
- Tidak
bisa berkata “aku punya tujuan”, tapi bisa berkata “aku masih bayar”
Pembayaran Sebagai Pernyataan Aku Masih Ada
Di saat hidup mulai berantakan, pembayaran kartu kredit
justru menjadi satu-satunya ritual yang tetap dipertahankan. Seakan dengan
membayar tagihan tepat waktu, mereka bisa meyakinkan dunia bahwa semuanya masih
terkendali. Di balik layar, itu bukan soal tanggung jawab semata, melainkan
usaha terakhir untuk menjaga ilusi bahwa mereka belum kalah.
Yang mereka lindungi sebenarnya bukan hidup itu sendiri,
tapi citra bahwa mereka masih sanggup menjalaninya. Selama cicilan masih
terbayar, mereka merasa topeng kekuatan masih bisa dipakai—bahwa tidak ada yang
melihat retakan di dalam diri. Membayar bukan lagi tentang menutup hutang, tapi
tentang menolak kenyataan bahwa mereka sedang rapuh.
Saat Bayar Tagihan Lebih Mudah Daripada Menata Hidup
Orang bisa menghadapi angka. Tapi mereka takut menghadapi
pertanyaan:
“Setelah ini, kamu mau hidup seperti apa?”
Pertanyaan itu menuntut perubahan. Sementara pembayaran hanya menuntut nominal.
Itulah sebabnya banyak orang memilih terus membayar, daripada berhenti dan
melihat hidup yang kosong.
Membayar Rasa Takut, Bukan Membayar Hutang
Kartu kredit tidak hanya menagih uang. Ia menagih kesadaran.
Ia memaksa seseorang berdiri tegak setiap bulan, menyiapkan uang, dan berkata
pelan pada diri sendiri: *“Aku masih bertanggung jawab.”* Sebuah kalimat yang
terdengar dewasa, kokoh, penuh kendali. Namun jauh di dalam hati, mereka tahu
kalimat itu tidak sepenuhnya benar.
Mereka bukan sedang menunjukkan tanggung jawab — mereka
hanya belum siap mengakui kekalahan. Membayar cicilan menjadi cara terakhir
untuk tetap merasa hidup, meski yang sebenarnya dipertahankan hanyalah
keyakinan bahwa mereka masih sanggup bertahan, walau hanya dalam bentuk
pura-pura.
Gesekan Kartu Kredit: Bukti Bahwa Ada yang Masih Bergerak
Bagi sebagian orang, melihat paket datang lebih berarti
daripada melihat tujuan hidup. Ada kelegaan aneh ketika barang tiba, meski
barang itu tidak dipakai. Karena setidaknya ada sesuatu yang berjalan, meski
hidupnya diam.
Mereka tidak mengejar kebahagiaan. Mereka hanya mengejar
rasa masih hidup.
Ketika Rasa Malu Hilang, Ritual Berubah Jadi Kebiasaan
Awalnya ada penyesalan. Lalu penyesalan mengecil. Kemudian
hilang. Yang tersisa hanyalah kebiasaan: pakai — bayar — pakai — bayar. Tidak
ada evaluasi. Tidak ada perubahan. Hanya siklus. Seperti jam yang berdetak
tanpa arah.
Ketika Batas Diri Akhirnya Dibangun
Sebagian orang tidak bangkit karena motivasi. Mereka bangkit
karena takut. Takut menua tanpa makna. Takut hidup hanya sebagai nomor
pelanggan.
Mereka berhenti bukan karena kuat. Mereka berhenti karena
sudah tidak tahan. Lalu mereka mulai memilih:
- Bayar
langsung agar rasa sakit terasa
- Tidak
lagi menggunakan hutang untuk menipu diri
- Menggunakan jasa pembayaran kartu kredit hanya untuk memastikan: jika aku beli,
aku sanggup hari ini
Karena batas adalah bentuk kejujuran.
Penutup: Di Balik Nominal, Ada Pertanyaan yang Tidak Bisa
Dibayar
Pada akhirnya, pembayaran kartu kredit bisa membuat
seseorang terlihat bertanggung jawab. Tapi pembayaran tidak pernah menjawab
satu pertanyaan terakhir:
“Kamu mau hidup sampai kapan hanya dengan bertahan?”
Ada yang bangkrut secara uang. Ada yang bangkrut secara
semangat.
Yang pertama bisa diselamatkan dengan uang.
Yang kedua hanya bisa diselamatkan oleh keberanian.
Dan jika suatu hari seseorang berhenti membayar demi
menyusun hidup dari awal, itu bukan kekalahan. Itu hari ketika ia memilih
hidup… bukan sekadar bertahan.